Sebuah Esai Siti Nurbaya: Kisah Kasih yang Tak Berujung
Marah Rusli adalah seorang
sastrawan di Indonesia pada angkatan Balai Pustaka dengan karya fenomenal yang
tak kenal jaman yakni roman Siti Nurbaya yang ikut membawanya sebagai penerima
hadiah tahunan pemerintah Republik Indonesia tahun 1969. Kisah yang dituturkan
pengarang dalam roman Siti Nurbaya ditulis hingga begitu melegenda dalam dunia
sastra di Indonesia hingga dibuatkan monument berupa jembatan Siti Nurbaya di
Kota Padang.
Dalam novel ini
menceritakan bagaimana kelicikan seorang rentenir tua yang memaksa menukarkan
pelunasan utang dengan menikahi anak gadis korban kelicikannya. Dalam keadaan
masyarakat dan bangsa yang sering ditemui kawin paksa, Marah Rusli secara jelas
mampu mengangkat realitas ke dalam cerita fiktif namun dalam keadaan yang
sebenarnya novel ini berbeda tipis antara bagaimana novel ini disebut sebagai
cerita fiktif atau realitas.
Dalam novel Siti Nurbaya,
sang pengarang mengambil masa kolonialisme sebagai latar keseluruhan cerita
dengan bagaimana keadaan setiap tokohnya yang disusun dengan rapi. Pengarang
membiarkan tokoh-tokohnya berpengaruh kuat terhadap satu sama lain.
Dalam novel
ini, diceritakan bagaimana kisah tak sampai seorang gadis yang mempunyai
kekasih bernama Samsul Bahri yang harus melanjutkan sekolahnya di pulau
seberang hingga menyebabkan mereka berpisah sementara waktu. Di lain pihak, melihat
keberhasilan Baginda Sulaiman—ayah Siti Nurbaya—, Datuk Maringgih merasa iri
lalu menyuruh anak buahnya menghancurkan usaha dagang Baginda Sulaiman hingga
ayah Siti Nurbaya jatuh miskin dan tak mampu membayar hutangnya kepada Datuk
Maringgih.
Di sini terlihat kelicikan Datuk Maringgih yang memang
mengincar Siti Nurbaya agar menjadi istri mudanya. Ia meminta pada Baginda
Sulaiman apabila tidak mampu membayar hutang maka Siti Nurbaya harus rela
menjadi istrinya supaya urusan utang di antara mereka selesai.
Sang tokoh utama, Siti Nurbaya pun gelisah bukan
kepalang karena ia merasa bahwa harus tetap setia pada kekasihnya, Samsul
Bahri, yang sedang bersekolah di Pulau Jawa. Namun, keadaan keluarganya yang
didera hutang juga takkalah mendesak hingga ia harus mengambil keputusan pahit
yakni menerima pinangan Datuk Maringgih tanpa mengabari kekasihnya terlebih
dahulu.
Suatu waktu, Samsul Bahri pulang dan tak sabar untuk
menemui Siti Nurbaya. Ia kaget mengetahui kekasihnya kini sudah menjadi istri
orang. Datuk Maringgih yang tidak menyukai Samsul Bahri pun menyebar fitnah
hingga menyebabkan terusirnya Samsul Bahri dari kampong halamannya sendiri.
Dalam perjalanannya, ternyata Siti Nurbaya yang juga
sudah diusir dari rumah, mencoba menyusul Samsul Bahri. Namun hal itu segera
saja diketahui suaminya yang langsung membuat muslihat agar Siti Nurbaya
kembali pulang. Sayangnya, Datuk Maringgih juga tak puas, hingga memutuskan
untuk meracuni istri mudanya tersebut.
Kematian Siti Nurbaya membuat tokoh-tokoh utama yang
lain dalam roman ini berubah. Samsul Bahri demi membalaskan dendamnya ikut
dalam ketentaraan Belanda dan dikirim ke Padang untuk menumpas pemberontakan
anti pajak yang dipimpin Datuk Maringgih.
Jika kita menilik pada penghujung cerita, kedua tokoh
utama ini sama-sama menjemput ajal setelah terlibat pertarungan sengit dan mati
dalam keadaan yang sungguh berbeda dari kisah awal yang dituturkan pengarang
sebagaimana Datuk Maringgih sebagai tuan tanah licik yang mati membela hak-hak
rakyat pribumi dan sebaliknya Samsul Bahri seorang tokoh terdidik namun di
ujung kisah mati sebagai bagian dari kompeni.
Marah Rusli sukses membuat bagaimana alur cerita itu
menjadi sangat hidup dengan pertikaian yang dalam realitas dapat ditemui dalam
masyarakat di jaman colonial. Dalam novel ini juga dapat diambil pesan moral
yaitu dalam situasi sulit sebuah karakter dapat berubah. Terkadang suatu sifat
yang buruk dapat berubah jika keadaan memaksanya untuk memilih kebenaran dan
sebaliknya.
DS. Jakarta 2015.
0 komentar: