Catatan Pementasan

15.58 Unknown 0 Comments



Minggu pagi sekitar pukul lima, gue baru aja bangun tidur setelah temen setia gue si Uyut Boeriswati teriak-teriak nyuruh gue melek. Subuh itu setelah semalaman anak-anak gladi kotor di kampus dan pulang sekitar jam setengah dua malam, mata rasanya sepeeeeettt banget gak bisa bangun  tidur. Mungkin belek gue kayak lem tikus.

Jam sepuluh pagi pementasan bakal dimulai. Rasanya gue gak deg-degan, sumpah padahal bakal ditonton banyak orang mulai dari orang tua, temen seangkatan, senior, sutradara, masyarakat umum dan juga sahabat-sahabat gue. Gue gak ngerasa deg-degan, sumvah gue ngantuk. Titik. Orang gue juga sempet tidur pas lagi gladi resik di atas panggung hahahahaha.

Yoyoyo akhirnya pementasan berjalan lancar bin sukses! Gak ngerti itu namanya apa, lha ajaib banget gue gak ketawa sepanjang pementasan yang nuntut peran kalo gue gak boleh senyum sama sekali padahal setiap kali latihan atau gladi resik gue juga masih nyengir-nyengir geli. Makasih ya Allah, udah selametin Dewi…

Adegan Lelaki 3 memberi makan Bu Tua


Adegan Cita-Citaku menghibur Bu Tua


Gue mau ngucapin terima kasih yang gatau cukup apa ngga buat orang-orang yang udah ngelatih dan ngesuport plus ada juga yang selalu ngejudge. Yang pertama terima kasih untuk Ibu dan Bapak selama ini selalu sabar ngeliat anaknya pulang jam 12 malem, kadang juga gak pulang berhari-hari, walaupun diomelin mulu tapi selalu kasih motivasi terbesarnya. Cepet sembuh ya, Yah :) ucapan kedua gue berikan pada sutradara yang kampret itu si Ida Ayu Soraya yang tega-teganya milih gue jadi actor utama. Kamvret lauuuuu hahaha becanda.

Peluk hangat untukmu, Da.

Para Aktor Lakon Mencari Senyuman


Semua Kru Pementasan Teater Bias

Buat sahabat-sahabat akoh: si Uyut, Bibon, dan Embing yang senantiasa mendengarkan ceramah panjang lebar tentang keluh kesah galau alay lebay di saat gue capek latihan. Apalagi Uyut yang ekstra sabar menegarkan hati gue di masa-masa suram itu. Juga pas gue reading naskah di jalan menuju kampus dari Cikarang di atas motor. Gak bakal gue lupain coooy ngomel-ngomelnya elu karena keberisikan hahaha. Buat yang suka ngejudge juga aku ucapkan terima kasih yang banyak, aduh cuma mau bilang coba kalian jadi akoh deh hehehe. Tapi gue buktiin yes gue bisa ngelewatin ini.

Dan ucapan terakhir buat kakanda guru yang udah ngelatih gue keaktoran sampe malam buta di mana aja ada kesempatan bahkan sampe diliatin tetangga yang ke ganggu malalam-malam karena ada orang teriak-teriak baca naskah di depan rumahnya. Terima kasih Ikhwal :)

Tiada gading yang tak retak, susah senangnya kita semua di kampus akan jadi kenangan. Capek ngantuk-ngantuk sampai manjat pagar Pusat Bahasa yang tingginya dua meter pukul dua belas malam yang bikin kita mirip maling. Kalian selalu jadi yang terbaik di mana pun kita berada. Karena teman adalah batas-batas rasionalitas yang perasaannya tersambung dengan diri masing-masing.

See you.


“Laskar 3E: Bersama Cahaya Menjadi Yang Paling Bersinar. Teater Bias: Semangat!”

0 komentar:

Ringkasan Lakon Mencari Senyuman

12.04 Unknown 0 Comments



Sketsa by Ikhwal

Kedukaan besar menimpa penduduk suatu kota. Senyuman yang selama ini melekat di wajah tiba-tiba saja hilang dan orang-orang baik mati. Kenapa? Mulut penduduk di kota itu baru saja dilepas jahitannya.

Padahal tiga puluh dua tahun masa kedukaan itu telah berakhir. Tetapi luka atas peristiwa lampau masih menancap dalam ingatan. Semua warga kota itu seketika muram durjana. Lantas, kalau tak ada lagi kebahagiaan, bagaimana kehidupan mereka selanjutnya?

Masalah itulah yang membuat Ibu Tua berjalan jauh. Tugas untuk mendapatkan kembali senyuman yang hilang dibebankan pada pundaknya. Akhirnya, dibantu oleh Perempuan 1, Perempuan 2, dan Lelaki 3, diupayakanlah segala macam cara untuk mengembalikan senyuman itu.

Uang, makanan, tarian, hiburan sampai segala macam strategi dicoba. Semua putar otak. Hingga Perempuan 1, Perempuan 2, dan Lelaki 3 mengundang Cita-Citaku dan Badut-Badut. Semua terlihat sama lucu, semua terlihat sama mampunya menarik seulas senyuman.  Dua tokoh besar datang. Reputasinya pun tidak main-main. Arjuna dari Kerajaan Astinapura dan Orang 1 perwakilan manusia suci ikut dalam upaya tersebut.

Penghiburan pun dimulai. Para tokoh yang diundang dan datang mulai beratraksi di hadapan Ibu Tua. Nasib senyuman itu kini berada di wajah Ibu Tua. Siapakah yang mampu melukis senyum? Benarkah sesulit itu mencari senyuman? Lantas, kalau begitu, apakah Ibu Tua akan tersenyum?


SAKSIKAN PEMENTASAN TEATER BIAS
"MENCARI SENYUMAN"
Karya Helvy Tiana Rosa
Disutradarai oleh Ida Ayu Soraya

Minggu, 21 Desember 2014
Pukul 10.00 WIB
di Aula S, Universitas Negeri Jakarta

0 komentar:

Antara Cerita dan Dongeng, Realis dan Magis. Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana

21.58 Unknown 0 Comments


“Bercerita adalah seni paling kuno.” kata pendongeng Inggris, Jo Blake Cave yang sudah sangat sering bercerita di banyak kota di India. Bagaimana kegiatan bercerita dapat menjadi ruang imajinasi seseorang lewat tulisan dan membangun daya khayal dengan adanya si tokoh, alur cerita, dan deskripsi tertentu yang diceritakan si pencerita.

Berhadapan dengan AS Laksana, cerpenis yang mengantarkan pembaca lewat gaya khas mendongengnya di buku Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu, seperti dibawa ke masa kecil yang penuh dengan imajinasi.

Buku Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu adalah buku kedua setelah Bidadari yang Mengembara berhasil menyabet buku sastra terbaik versi Majalah Tempo tahun 2004. Dengan gaya mendongengnya yang khas, penulis menceritakan sebuah kisah pendek yang tak lazim. Karakterisasi tiap tokoh dibangun sederhana, tetapi justru menghasilkan watak yang kuat. Topik kisahnya pun tak lazim seperti cerpen kebanyakan. Gaya cerita AS Laksana dapat dibilang sebagai absurdisme fiksi dalam khazanah sastra Indonesia. Ending cerita pada Murjangkung dibiarkan berakhir dengan hal-hal yang aneh dan absurd, seperti dalam kutipan di bawah ini:

Benih di rahimnya terus tumbuh dan perempuan itu mati lagi Sembilan bulan kemudian saat melahirkan anak kedua yang juga cucunya—seekor lembu peteng yang menyala di atas kuburan. (“Peristiwa Kedua, Seperti Komidi Putar”, hlm. 211).

Narasi dalam cerpen penutup yang bercerita tentang awal mula kelahiran Seto, tokoh dalam beberapa cerpen di buku Murjangkung, yang ternyata dilahirkan dari hasil hubungan ibu dan anak di cerita ini. Dan poin absurdnya: pembaca dibuat terheran-heran bagaimana mungkin perempuan yang sudah mati sebelumnya, dapat melahirkan kembali dan bayinya menjadi seorang tokoh yang nyatanya banyak bertebaran di dalam cerita-cerita lainnya.

A.S Laksana memang bukan merupakan nama baru di dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ia lebih mafhum dikenal sebagai cerpenis, untuk fiksi, dan juga mengisi kolom esai di Koran Jawa Pos. Pria yang dikenal dengan panggilan “Sulak” ini masyhur dengan cerpen-cerpennya yang berbau mistis, dan juga intertekstualitas yang sangat tinggi. Jika dibandingkan, mungkin ia seperti halnya Gabriel Garcia Marquez dengan sastra realis-magisnya


Buku Murjangkung

Dalam Murjangkung, AS Laksana banyak menggunakan unsur-unsur kisah nabi dari agama ibrahimik, mitos setempat, dan dongeng-dongeng yang ditabrakkan dengan kondisi masa kini. Uniknya, ia menyampaikan itu lewat caranya yang sederhana dan dibalut parodi. Tokoh-tokoh yang hadir dalam ceritanya pun dibiarkan mengembara, berkelindan begitu saja, tanpa kekangan oleh representasi dari judul cerita. Atau mungkin mereka bersembunyi di balik topeng-topeng, dan siap muncul untuk mengejutkan dan membuat kepala buyutan. Selain itu, tokoh-tokoh dalam cerita tersebut juga diberi nama-nama yang antonomasia; seperti si cacing, si belatung, kadal, dan sebagainya.

Seperti dalam kutipan berikut:

“Coba tanyakan kepada kawan-kawanmu, barangkali ada yang mau menikah dengan si cacing,” kata Bob kepada pamanku. (Otobiografi Gloria. Hlm 16)

Dalam kumpulan Murjangkung, cerpen berjudul “Otobiografi Gloria” menjadi dongeng yang paling mempunyai nyawa dan banyak memberikan kejutan. Otobiografi Gloria, seperti judulnya, bercerita tentang “si aku” yang sudah pasti bernama Gloria, namun ia tidak memberitahu apa kaitan ia dalam cerita otobiografinya tersebut.

Kemudian ia menceritakan riwayat keluarganya, dimana nenek dan kakeknya (si aku menyebutnya Bob dan Leli) sangat mendamba-dambakan cucu dari ketiga anak mereka. Dari ketiga anak itu, hanya anak kedualah, seorang perempuan yang menikah dengan pegawai bank, yang kemungkinan besar bisa mewujudkan harapan dua orangtua tersebut, sepasang suami istri yang dalam cerita, sangat gemar memanjatkan doa di tempat-tempat tak wajar demi mempunyai cucu. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah malapetaka, dan A.S Laksana berhasil membuat malapetaka itu memiliki nyawa.

Begitulah, terkadang memang cerita pendek dan dongeng sulit untuk dibedakan. Salah satu dosen pada mata kuliah Kajian Prosa Fiksi pernah mengatakan, kalau cerita (entah itu pendek atau panjang) itu merupakan representasi si pencerita dari apa yang dialaminya. Jadi ia bukan plok gambaran nyata yang dituturkan lewat pembicaraan. Sedangkan dongeng, banyak yang mengatakan kalau dongeng merupakan cerita lama, cerita yang mengangkat kearifan local dan amanat yang terkandung di dalamnya sangatlah dalam.

Mungkin beberapa cerita dalam Murjangkung layak disematkan dalam bentuk dongeng, dan mungkin juga sebagian cerita lainnya merupakan cerita pendek yang sangat jarang ditemui. Ia hadir sebagai dongeng bukan untuk menidurkan si pembaca, tetapi justru membuat pembaca menjadi kewalahan, karena mungkin beginilah seharusnya dongeng atau cerita itu hadir. Sedangkan sebagai cerita pendek, Murjangkung ingin mengatakan kalau cerita pendek tidak harus terkekang dengan representasi dari judul.

Satu hal yang pasti, mengutip kata Yusi Avianto Pareanom, bahwa hidup itu bukan hanya sekadar cerita pendek, begitu juga sebaliknya. Cerita pendek memang merupakan alternatif untuk melukiskan realitas, dimana keadaan zaman digambarkan dalam lanskap yang terbatas. Ketika zaman Or-Ba, Seno Gumira Ajidarma banyak sekali menciptakan  realitas dalam bentuk cerita pendek. Kini, dengan isu-isu yang keluar-masuk dan susah untuk dijadikan fokus, sepertinya para cerpenis kontemporer, termasuk mungkin A.S Laksana, ingin mengatakan bahwa cerita pendek itu tidak melulu soal menggambarkan realitas, namun juga mampu membuka kran imajinasi para pembaca dan juga menguak sejarah tak resmi yang dicatat para ahli.

Dewi Sarah, mahasiswa angkatan 2012 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Reza Deni Saputra, idem

0 komentar: