Ini adalah sebuah acara Kompetisi Blogger ShopCoupons X MatahariMall. Yang diselenggarakan oleh ShopCoupons. voucher mataharimall dan hadiah disponsori oleh MatahariMall.

mataharimall

Review Gone Girl

Poster Gone Girl
Di luar jendela rintik hujan sudah mulai turun. Pas sekali suasana yang relatif tenang ini untuk menyalurkan hasrat menulis saya. Kebetulan saya baru saja menyelesaikan sebuah film bergenre thriller psikologi yang berjudul Gone Girl, merasa terusik dengan isi filmnya maka saya memutuskan menulis apa yang saya pikirkan tentang itu.
Gone Girl adalah sebuah film drama yang hadir pada tahun 2014 silam. Saya telat sekali baru menontonnya sekarang. Tapi siapa peduli. Kita mulai saja lagi. Ben Affleck dan Rosamund Pike ialah dua pemeran utama film ini. Disutradarai oleh professional di bidangnya yakni David Fincer yang dulunya juga menyutradarai film Social Network, menyebabkan film ini layak diacungi jempol karena ceritanya yang kompleks namun diurai dengan dialog-dialog renyah, alur cerita yang tidak terduga, dan menguak fenomena kelainan jiwa yaitu psikopat. Uniknya ini kisah psikopat di dalam permasalahan rumah tangga.
Pernikahan merupakan hal penting dalam kehidupan seseorang sebagaimana kita ketahui bahwa keputusan menikah bukanlah keputusan yang mudah. Tentu saja ada banyak yang perlu dipertimbangkan selain soal masalah perasaan diantara keduanya. Menikah  melibatkan materi, keluarga, masa lalu, dan prinsip. Kau tidak akan menikah dengan orang yang tidak  kau kenal. Sayangnya, seberapa pun kau mengharapkan pernikahan yang ideal pasti ada saja cacatnya. Pada kasus Gone Girl masalah muncul setelah lima tahun pernikahan. Sang suami yang bernama Nick sekian lama menganggur menjadi pemicu dalam hubungan karena menjadi masalah ekonomi. Tak hanya menganggur, Nick pun berselingkuh dan istrinya, Amy Dunne, mengetahui hal tersebut.
Sakit hati, amarah, dan perasaan dikhianati lainnya membuat Amy Dunne merencanakan sebuah pelarian yang ia rancang untuk memberi pelajaran pada suaminya. Pelarian yang berbeda, bukan hanya kau membuntal baju, celana, dress, dan semua keperluanmu ke dalam satu koper lalu pergi agar suaminya merasakan kehilangan. Bukan. Itu terlalu sederhana dan klasik. Bagi Amy, wanita cerdas ini merencanakan peristiwa yang akan membuat suaminya dituduh sebagai pembunuh dirinya dengan mempersiapkan segala sesuatu dengan rinci. Ia mempelajari, menghitung, dan membuat catatan hingga ia berniat bunuh diri pada akhirnya.
Kehilangan martabat menurut dirinya adalah pelajaran setimpal yang akan ia timpakan pada suaminya. Caranya yang sengaja membuat kehilangannya seperti kasus pembunuhan. Dia membuat seolah dirinya hamil, menyayat tangannya sehingga darah keluar banyak di dapur dan dibuat seolah-olah terjadi pembunuhan. Selanjutnya ia pergi dengan rasa menikmati bahwa suaminya akan dihukum mati.
            Alurnya selalu tak bisa diduga.
Kau harus melihatnya langsung bagaimana Amy dengan darah dingin membunuh seseorang dari masa lalu, demi memuluskan niat kembali kepada Nick dengan kondisi berdarah-darah.
Terakhir saya paling suka dengan adegan pembuka dan penutup film ini lewat sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan dari Nick ketika Amy berbaring di sisinya.
“Saat memikirkan istriku, aku selalu memikirkan kepalanya. Kubayangkan memecahkan tengkoraknya yang indah. Mencopot otaknya, dan mencoba mencari jawaban.” Ia membelai rambut istrinya. Melanjutkan dengan pertanyaan terpenting dalam setiap pernikahan.
“Apa yang kau pikirkan?”
Karena Nick tidak pernah lagi tahu apa yang dipikirkan istrinya ketika ia menyadari bahwa orang yang ia cintai adalah seorang psikopat.
Demikianlah film ini akan mengguncang jiwa kita. Oke saya kira cukup. Dan hujan jugalah yang memisahkan kita berdua, kau dan saya. Saya harus membuat teh hangat yang asapnya mengepul-ngepul sebab ujung jari-jari kaki sudah terlalu banyak melepaskan panas tubuh. Satu hal yang diambil pelajaran dari drama thriller psikologi ini, bahwasanya jika kita akan menikah kenali dan lihatlah masa lalu calon pasangan seumur hidupmu.
Jangan sampai dapat psikopat!

Jakarta, 26 April 2016

D.S

Sebuah Esai Siti Nurbaya: Kisah Kasih yang Tak Berujung


                Marah Rusli adalah seorang sastrawan di Indonesia pada angkatan Balai Pustaka dengan karya fenomenal yang tak kenal jaman yakni roman Siti Nurbaya yang ikut membawanya sebagai penerima hadiah tahunan pemerintah Republik Indonesia tahun 1969. Kisah yang dituturkan pengarang dalam roman Siti Nurbaya ditulis hingga begitu melegenda dalam dunia sastra di Indonesia hingga dibuatkan monument berupa jembatan Siti Nurbaya di Kota Padang.
            Dalam novel ini menceritakan bagaimana kelicikan seorang rentenir tua yang memaksa menukarkan pelunasan utang dengan menikahi anak gadis korban kelicikannya. Dalam keadaan masyarakat dan bangsa yang sering ditemui kawin paksa, Marah Rusli secara jelas mampu mengangkat realitas ke dalam cerita fiktif namun dalam keadaan yang sebenarnya novel ini berbeda tipis antara bagaimana novel ini disebut sebagai cerita fiktif atau realitas.
            Dalam novel Siti Nurbaya, sang pengarang mengambil masa kolonialisme sebagai latar keseluruhan cerita dengan bagaimana keadaan setiap tokohnya yang disusun dengan rapi. Pengarang membiarkan tokoh-tokohnya berpengaruh kuat terhadap satu sama lain.
 Dalam novel ini, diceritakan bagaimana kisah tak sampai seorang gadis yang mempunyai kekasih bernama Samsul Bahri yang harus melanjutkan sekolahnya di pulau seberang hingga menyebabkan mereka berpisah sementara waktu. Di lain pihak, melihat keberhasilan Baginda Sulaiman—ayah Siti Nurbaya—, Datuk Maringgih merasa iri lalu menyuruh anak buahnya menghancurkan usaha dagang Baginda Sulaiman hingga ayah Siti Nurbaya jatuh miskin dan tak mampu membayar hutangnya kepada Datuk Maringgih.
Di sini terlihat kelicikan Datuk Maringgih yang memang mengincar Siti Nurbaya agar menjadi istri mudanya. Ia meminta pada Baginda Sulaiman apabila tidak mampu membayar hutang maka Siti Nurbaya harus rela menjadi istrinya supaya urusan utang di antara mereka selesai.
Sang tokoh utama, Siti Nurbaya pun gelisah bukan kepalang karena ia merasa bahwa harus tetap setia pada kekasihnya, Samsul Bahri, yang sedang bersekolah di Pulau Jawa. Namun, keadaan keluarganya yang didera hutang juga takkalah mendesak hingga ia harus mengambil keputusan pahit yakni menerima pinangan Datuk Maringgih tanpa mengabari kekasihnya terlebih dahulu.
Suatu waktu, Samsul Bahri pulang dan tak sabar untuk menemui Siti Nurbaya. Ia kaget mengetahui kekasihnya kini sudah menjadi istri orang. Datuk Maringgih yang tidak menyukai Samsul Bahri pun menyebar fitnah hingga menyebabkan terusirnya Samsul Bahri dari kampong halamannya sendiri.
Dalam perjalanannya, ternyata Siti Nurbaya yang juga sudah diusir dari rumah, mencoba menyusul Samsul Bahri. Namun hal itu segera saja diketahui suaminya yang langsung membuat muslihat agar Siti Nurbaya kembali pulang. Sayangnya, Datuk Maringgih juga tak puas, hingga memutuskan untuk meracuni istri mudanya tersebut.
Kematian Siti Nurbaya membuat tokoh-tokoh utama yang lain dalam roman ini berubah. Samsul Bahri demi membalaskan dendamnya ikut dalam ketentaraan Belanda dan dikirim ke Padang untuk menumpas pemberontakan anti pajak yang dipimpin Datuk Maringgih.
Jika kita menilik pada penghujung cerita, kedua tokoh utama ini sama-sama menjemput ajal setelah terlibat pertarungan sengit dan mati dalam keadaan yang sungguh berbeda dari kisah awal yang dituturkan pengarang sebagaimana Datuk Maringgih sebagai tuan tanah licik yang mati membela hak-hak rakyat pribumi dan sebaliknya Samsul Bahri seorang tokoh terdidik namun di ujung kisah mati sebagai bagian dari kompeni.
Marah Rusli sukses membuat bagaimana alur cerita itu menjadi sangat hidup dengan pertikaian yang dalam realitas dapat ditemui dalam masyarakat di jaman colonial. Dalam novel ini juga dapat diambil pesan moral yaitu dalam situasi sulit sebuah karakter dapat berubah. Terkadang suatu sifat yang buruk dapat berubah jika keadaan memaksanya untuk memilih kebenaran dan sebaliknya.

DS. Jakarta 2015.

Tentang Dirimu

Adakah kesepian yang paling menggigit selain ketiadaan dirimu, mata yang paling cahaya. Setiap kali petang datang menyapa sudut-sudut kamar, kau membesar sebagai sebuah bayang hitam yang mengikutiku. Atau ketika malam turun ke bumi, kamu, ya, kamu, tidak pernah melewatkan sekalipun waktu yang berdetak-detak itu hanya untuk membiarkan nestapa singgah. Kamu senang sekali memeluk pikiran, seolah-olah separuh kewarasanku ditentukan oleh ada dan tiadanya dirimu. Mari sini sayangku, kamu yang tak pernah lelah, tak pernah berhenti hadir, genggamlah erat tanganku, dan pegang janjiku. Kau tak akan pergi kemana-mana selain ada aku bersamamu.

DS. 2015. 

Di Sisi Bukit Nagrok

Pukul 21.00: Kampung Nagrok, Bandung Barat

Malam ini hujan turun lagi. Seperti malam yang lalu. Menyenangkan. Membuat suasana diluar terlihat damai menentramkan. Tidak deras benar. Hanya hujan gerimis. Itu pun jarang-jarang, tetapi cukup untuk membuat kampungku basah.

Aku menghela napas panjang. Tanganku pelan menyentuh dinding bilik bambu yang lembab karena dingin. Udara menyusup dari lubang-lubang kecil yang tercipta dari sela-sela dinding anyaman bambu. Aku bergelung kembali dengan sarungku. Dingin itu seketika menyergap ujung jari, mengalir ke telapak tangan, melalui pergelangan, menerobos siku, bahu, kemudian tiba di hatiku.

Membekukan seluruh perasaan.

Mengkristalkan semua keinginan.

Malam ini, semua cerita harus usai.

***

Seperti biasanya pada malam-malam sebelum musibah itu, aku pergi mengitari jalan-jalan kecil disana bersama beberapa pemuda kampung. Sibuk tertawa. Khas candaan anak muda. Hingga larut tiba yang mengharuskan kami pulang ke rumah masing-masing.

Kampungku terletak di desa MukaPayung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Kalau kalian kesini, maka akan terasa bahwa lingkungan disini amat menyenangkan. Saat pagi datang, kampung akan diselimuti kabut tipis dan embun-embun yang menempel di dedaunan. Atau bila petang menjelang, bukit-bukit akan menampilkan siluet senja yang lembut.

Kampung ini tetap ramah meski kemodernan terus menyapa. Tidak ada individualisme. Semua bergotong-royong membantu tetangga sebelah rumah. Dan yang terpenting, kampung ini adalah kenyamanan, hidup, dan kenanganku.

***
          Setiap sore aku datang ke bukit ini.

Sudah menjadi ritual setahun terakhir. Ibu-ibu kampung yang matanya selalu menatap prihatin sudah mengenaliku. Bocah-bocah kecil yang bermain di sepanjang jalan menuju bukit juga sudah tahu. Kakak itu sering kesana.

Aku menatap lamat-lamat pemandangan setiap kali ke sini. Berdiri bersandar pada sebatang pohon di atas bukit sebagai tempat menumpahkan segala perasaan. Tempatku terpekur mengenang segalanya. Semua masa lalu itu.

Aku menghela napas panjang.

Bayangan tentang perempuanku berkelebatan di sepanjang jalan. Ingatan pertemuan di bukit dekat kampung memaksa pikiranku terbagi. Gadis itu tertawa riang, disana tanpa malu-malu ia menarik tanganku untuk bergerak lebih cepat menaiki sisi bukit yang terjal.

Aku selalu tersenyum melihatnya begitu riang. Menyenangkan menghabiskan waktu senja di atas bukit. Menyerap sisa-sisa kehangatan matahari sebelum ia tergelincir turun ke belahan bumi bagian lainnya.

Gadisku duduk syahdu di tempatnya. Terpekur memandang alam yang terhampar. Jemari tangannya sibuk memilin-milin rumput kecil sambil mulutnya menyenandungkan lagu-lagu. Merasa dunia sudah utuh baginya.

Tempat ini selalu penting. Saat berjalan menuruni bukit, banyak bocah-bocah kecil berlarian bersama-sama. Menatap keadaan disini, sedikit banyak membantuku berdamai dengan perasaan masa lalu. Tempat ini benar-benar berarti banyak bagiku. Menyimpan kenangan penting.

“Sendirian, Den?” seorang ibu yang menggendong anak menegurku. Ia membawa balitanya sambil menyuapi makan.

Aku menyeringai datar. Pertanyaan itu bentuk keramahan yang ditemui di kampung ini. Aku tahu persis. Dia tahu, seperti warga sisi bukit lainnya, setiap sore aku datang ke sini selalu sendirian.

Aku tahu setahun terakhir ibu-ibu di sekitar sini selalu mencuri-curi pandang. Mereka menatap prihatin terhadap pemuda yang selalu bolak-balik ke bukit untuk sekedar melepas pikiran dari seseorang yang memerangkap perasaan dari masa lalu.

***

Bukit ini penting. Selalu penting.

          Bukit ini menjadi penanda perjalanan belasan tahun terakhir hidupku yang penuh warna.

          Prasasti indah yang akan selalu kukenang.

          Setahun silam kejadian itu mulai membekas terlalu dalam di pikiranku. Untuk pertama kalinya aku bisa merasa begitu nelangsa. Perasaan yang mencelos hati hingga membuatku tersentak bahwa kenyataan itu terlalu dekat.

          Setahun silam, hujan terus turun dengan deras sepanjang dua minggu terakhir. Mengguyur kampung Nagrok. Membasahi atap-atap rumah warga yang sibuk meringkuk di balik sarung. Malas beraktifitas di tengah udara yang dingin menusuk.

          Tidak ada yang menyadari kejadian itu amat dekat. Musibah itu sudah mengintai kampung Nagrok selama dua minggu terakhir bersamaan dengan air yang turun deras dari langit. Awalnya pohon-pohon di sisi gunung cukup mampu menahan laju air di antara tanah-tanah miring. Tapi mungkin tuhan berkehendak lain untuk kampung Nagrok.

          Malam itu, tanah miring mulai bergerak cepat menuruni sisi Gunung Arca. Mengirim pesan kematian ke kampung yang amat indah itu, yang sebagian warganya sudah asik terlelap tidur ditingkahi suara hujan. Tiba-tiba bunyi keras seperti gemuruh mengagetkan warga kampung. Dan tanpa tedeng aling-aling tanah yang labil terkena deras hujan menghantam pinggiran kampung Nagrok. Menimbun tebal rumah-rumah yang ada di sana.

          Warga yang rumahnya tidak tertimbun berlari panik menyelamatkan diri. Menyelamatkan nyawa keluarga masing-masing. Malam itu kampung Nagrok ditimpa musibah longsor mengerikan dari Gunung Arca.

Dan malam itu, malam kejadian itu, aku tidak berada di kampung. Aku sedang berada di Dago, mengambil pesanan sanak saudara. Secepat kejadian longsor itu menghantam kampung, secepat itu pula Emak mengabariku lewat telepon singkat. “Pulang, Nak. Kampung ditimpa musibah longsor.” Singkat saja isi telepon Emak. Tetapi efeknya sungguh besar, badanku langsung gemetar memikirkan musibah itu.

Otakku berjalan cepat berpikir longsor pasti terjadi di sisi Gunung Arca, di pinggiran kampung. Dan di sana ya Tuhan, disana rumah gadisku berada. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang amat buruk, ah pastilah buruk berita ini saja cukup membuat sendi-sendi melemas.

Bergegas pulang dengan menumpang truk yang menuju ke arah kampung. Aku tidak sempat memikirkan pesanan yang lupa dibawa. Perasaan amat waswas dengan apa yang terjadi mengalahkan akal sehat ketika sampai di kampung, aku menerobos tempat kejadian. Melihat segalanya telah rata dengan tanah. Keluargaku selamat, tapi tidak dengan keluarga gadisku.

Aku seperti orang gila saat itu, mencakar-cakar tanah di atas rumah yang tertimbun. Barangkali gadisku disana. Barangkali ia masih bisa diselamatkan. Tetapi pemuda kampung yang lain segera menarikku dari lokasi. Berbahaya berada di sana sementara hujan masih turun meski tidak sederas malam-malam biasanya. Maut mengintai siapapun di tempat itu.

Kabar baik itu tidak pernah datang hingga berhari-hari kemudian. Tim Sar dan Badan Penanggulangan Bencana yang selama beberapa hari terakhir terus berupaya mencari korban yang tertimbun tidak bisa menyampaikan kabar baik untukku. Pencarian itu dihentikan. Khawatir penyakit yang ditimbulkan jenazah yang sudah membusuk akan membuat sakit tetanus.

Tetapi ya Tuhan, kabar itu datang. Telak menghantam ulu hati. Mencerabut sisi tegarku. Gadisku ditemukan. Tewas dengan keadaan yang amat menyedihkan. Tangan kirinya putus dan luka menganga lebar di kepala.


Sungguh sejak saat itu, tidak ada yang pernah sama lagi. Gadisku pergi bersama alam yang merenggutnya. Meninggalkan senyap disini, di kampung dan perasaanku.



DS/2013

Napak Tilas Ngebolang 21-22 Februari 2015


  • Berangkat pukul 7.30 dari rumah (uyut baru mandi)
  • Sarapan bekal di alternative cililitan
  • Ketemu uyut di kramat jati jam 9 kurang 15 menit
  • Berangkat menuju bogor
  • Sarapan bubur ayam  di halaman dinas pendidikan jalan pajajaran
  • Ketemu eci di depan botani square
  • Berangkat menuju puncak gemilang cahaya bersatu janji kawan sejati *halah jam 11.14*
  • Istirahat di alfamart 1 beli snack sekaligus minuman *yang aus yang aus*
  • Lanjut perjalanan…
  • Isi bensin di daerah puncak pass
  • Acara berikutnya nanya amang villa karena guide jalannya (saya sendiri) lupa-lupa ingat
  • Istirahat di alfamart 2 mengisi amunisi tas
  • Masuk gerbang wisata paket lengkap (2 orang 1 motor) 9ribu
  • Sampai di parkiran depan kantor administrasi TNGGP pukul 13.00
  • Bayar parkir 5000/motor
  • Sampai di pos pendaftaran curug cibeureum bayar 13.500/orang
  • Start hiking menuju air terjun pukul 13.30 *uyut nyeker*
  • Eci mati di jalan hahahaha
  • HM 20 di atas rawa gayonggong sibuk selfie dan foto-foto imut *biar seneng*
  • Sampai di telaga biru numpang cuci muka
  • Lanjut ngos-ngosan..
  • Pukul 15.00 sampai di air terjun cibeureum
  • Istirahat sejenak *ihwal kelaperan* para perempuan mulai berdandan
  • Aktifitas berikutnya tentu saja foto, foto, dan foto
  • Jalan ke air terjun kedua *mergokin pria berkancut lagi pakai celana*
  • Foto
  • Foto
  • Nyebur
  • Foto *ihwal menggigil*
  • Pukul 16.30 memutuskan untuk selesai
  • Ke kamar mandi freshcare milik uyut masuk lobang wc *maap yut*
  • Foto terakhir dan turun
  • Pukul 17.45 sampai di bawah jajan cilok *protes cilok mahal!*
  • Menuju puncak pass…
  • Parkir motor di masjid at-ta’awun
  • Makan di warung-warung makan depan masjid (view jalan puncak dan sedikit lampu kota yang ketutupan pohon)
  • Foto di pelataran masjid yang pemandangan malamnya landscape city light kota bogor
  • Pukul 21.30 pulang menuju rumah eci *di jalan ngebut2an demi menghindari begal-begal asmara* *apasih*
  • Sampai Bojong Gede pukul 10.30
  • Tepar tepar tepar
  • Bangun pagi, sarapan pisang goreng buatan mamahnya eci *enak mak*
  • Tepar tepar tepar
  • Pukul 13.00 makan siang di restoran bebek goreng H.Slamet (asli) ditraktir mamahnya eci (tentu saja)
  • Pukul 15.00 pulang ke Jakarta menuju rumah masing-masing
Selesai sudah napak tilas ngebolang kali ini. Perjalanan yang menyenangkan karena berhasil ngajak Eci, Ihwal, dan Uyut untuk hiking pertama kalinya ke gunung. Semua lelah sudah dibayar lunas, semua senang, semua pegal. Sedikit quotes sebagai penutup napak tilas kali ini: “The world is a book and those who do not travel read only one page.” –St.Agustine

Foto Sebelum Pulang


Thanks to:
  1. Allah SWT
  2. Orang tua atas izin yang lain
  3. Kasir alfamart  yang nyuruh bayar makanan yang diambil gratis dari rak
  4. Amang-amang villa yang udah ngasih tau jalan lurus
  5. Kasir alfamart lagi
  6. Amang-amang parkiran yang jagain motor
  7. Ranger hutan TNGGP
  8. Teteh warung yang masakin makanan
  9. Pengamen yang menghibur meski suaranya fals
  10. Dan kedua orang tua Eci juga Rangga yang udah kita kuasai ruang tamunya

Di Masa Hujan Datang



Hujan bawa harum kanak-kanak. Percik airnya mengejawantahkan dirimu dalam bayang masa nakal. Kita pernah tertawa-tawa dengan lumpur cemong menghias muka, mengejar katak-katak yang riang karna deras hujan turun amat lebat. Suatu hari di dimensi waktu yang berbeda, kita merindukan kembali berlarian di halaman dan berebut tempat kucuran air dari sudut siku-siku pertemuan atap rumah. Semakin deras, semakin keren. Betapa masa kecil begitu merindukan. Kita tak pernah mencari hujan untuk menutupi air mata seperti saat dewasa. Di masa kecil kita berdamai dengan hujan hanya untuk menciprati kawan sepermainan agar ikut basah dan cemong lalu tertawa senang. Sesederhana itu hormon dopamine merasuk pada kanak-kanak...