Di Sisi Bukit Nagrok
Pukul
21.00: Kampung Nagrok, Bandung
Barat
Malam
ini hujan turun lagi. Seperti malam yang lalu. Menyenangkan. Membuat suasana
diluar terlihat damai menentramkan. Tidak deras benar. Hanya hujan gerimis. Itu
pun jarang-jarang, tetapi cukup untuk membuat kampungku basah.
Aku
menghela napas panjang. Tanganku pelan menyentuh dinding bilik bambu yang
lembab karena dingin. Udara menyusup dari lubang-lubang kecil yang tercipta
dari sela-sela dinding anyaman bambu. Aku bergelung kembali dengan sarungku.
Dingin itu seketika menyergap ujung jari, mengalir ke telapak tangan, melalui
pergelangan, menerobos siku, bahu, kemudian tiba di hatiku.
Membekukan
seluruh perasaan.
Mengkristalkan
semua keinginan.
Malam
ini, semua cerita harus usai.
***
Seperti
biasanya pada malam-malam sebelum musibah itu, aku pergi mengitari jalan-jalan
kecil disana bersama beberapa pemuda kampung. Sibuk tertawa. Khas candaan anak
muda. Hingga larut tiba yang mengharuskan kami pulang ke rumah masing-masing.
Kampungku
terletak di desa MukaPayung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa
Barat. Kalau kalian kesini, maka akan terasa bahwa lingkungan disini amat
menyenangkan. Saat pagi datang, kampung akan diselimuti kabut tipis dan
embun-embun yang menempel di dedaunan. Atau bila petang menjelang, bukit-bukit
akan menampilkan siluet senja yang lembut.
Kampung
ini tetap ramah meski kemodernan terus menyapa. Tidak ada individualisme. Semua
bergotong-royong membantu tetangga sebelah rumah. Dan yang terpenting, kampung
ini adalah kenyamanan, hidup, dan kenanganku.
***
Setiap
sore aku datang ke bukit ini.
Sudah
menjadi ritual setahun terakhir. Ibu-ibu kampung yang matanya selalu menatap
prihatin sudah mengenaliku. Bocah-bocah kecil yang bermain di sepanjang jalan
menuju bukit juga sudah tahu. Kakak itu sering kesana.
Aku
menatap lamat-lamat pemandangan setiap kali ke sini. Berdiri bersandar pada
sebatang pohon di atas bukit sebagai tempat menumpahkan segala perasaan.
Tempatku terpekur mengenang segalanya. Semua masa lalu itu.
Aku
menghela napas panjang.
Bayangan
tentang perempuanku berkelebatan di sepanjang jalan. Ingatan pertemuan di bukit
dekat kampung memaksa pikiranku terbagi. Gadis itu tertawa riang, disana tanpa
malu-malu ia menarik tanganku untuk bergerak lebih cepat menaiki sisi bukit
yang terjal.
Aku
selalu tersenyum melihatnya begitu riang. Menyenangkan menghabiskan waktu senja
di atas bukit. Menyerap sisa-sisa kehangatan matahari sebelum ia tergelincir
turun ke belahan bumi bagian lainnya.
Gadisku
duduk syahdu di tempatnya. Terpekur memandang alam yang terhampar. Jemari
tangannya sibuk memilin-milin rumput kecil sambil mulutnya menyenandungkan
lagu-lagu. Merasa dunia sudah utuh baginya.
Tempat
ini selalu penting. Saat berjalan menuruni bukit, banyak bocah-bocah kecil berlarian
bersama-sama. Menatap keadaan disini, sedikit banyak membantuku berdamai dengan
perasaan masa lalu. Tempat ini benar-benar berarti banyak bagiku. Menyimpan
kenangan penting.
“Sendirian,
Den?” seorang ibu yang menggendong anak menegurku. Ia membawa balitanya sambil
menyuapi makan.
Aku
menyeringai datar. Pertanyaan itu bentuk keramahan yang ditemui di kampung ini.
Aku tahu persis. Dia tahu, seperti warga sisi bukit lainnya, setiap sore aku
datang ke sini selalu sendirian.
Aku
tahu setahun terakhir ibu-ibu di sekitar sini selalu mencuri-curi pandang.
Mereka menatap prihatin terhadap pemuda yang selalu bolak-balik ke bukit untuk
sekedar melepas pikiran dari seseorang yang memerangkap perasaan dari masa
lalu.
***
Bukit ini
penting. Selalu penting.
Bukit ini menjadi penanda perjalanan
belasan tahun terakhir hidupku yang penuh warna.
Prasasti indah yang akan selalu
kukenang.
Setahun silam kejadian itu mulai
membekas terlalu dalam di pikiranku. Untuk pertama kalinya aku bisa merasa
begitu nelangsa. Perasaan yang mencelos hati hingga membuatku tersentak bahwa
kenyataan itu terlalu dekat.
Setahun silam, hujan terus turun
dengan deras sepanjang dua minggu terakhir. Mengguyur kampung Nagrok. Membasahi
atap-atap rumah warga yang sibuk meringkuk di balik sarung. Malas beraktifitas
di tengah udara yang dingin menusuk.
Tidak ada yang menyadari kejadian itu
amat dekat. Musibah itu sudah mengintai kampung Nagrok selama dua minggu
terakhir bersamaan dengan air yang turun deras dari langit. Awalnya pohon-pohon
di sisi gunung cukup mampu menahan laju air di antara tanah-tanah miring. Tapi
mungkin tuhan berkehendak lain untuk kampung Nagrok.
Malam itu, tanah miring mulai bergerak
cepat menuruni sisi Gunung Arca. Mengirim pesan kematian ke kampung yang amat
indah itu, yang sebagian warganya sudah asik terlelap tidur ditingkahi suara
hujan. Tiba-tiba bunyi keras seperti gemuruh mengagetkan warga kampung. Dan
tanpa tedeng aling-aling tanah yang labil terkena deras hujan menghantam
pinggiran kampung Nagrok. Menimbun tebal rumah-rumah yang ada di sana .
Warga yang rumahnya tidak tertimbun
berlari panik menyelamatkan diri. Menyelamatkan nyawa keluarga masing-masing.
Malam itu kampung Nagrok ditimpa musibah longsor mengerikan dari Gunung Arca.
Dan
malam itu, malam kejadian itu, aku tidak berada di kampung. Aku sedang berada
di Dago, mengambil pesanan sanak saudara. Secepat kejadian longsor itu
menghantam kampung, secepat itu pula Emak mengabariku lewat telepon singkat.
“Pulang, Nak. Kampung ditimpa musibah longsor.” Singkat saja isi telepon Emak.
Tetapi efeknya sungguh besar, badanku langsung gemetar memikirkan musibah itu.
Otakku
berjalan cepat berpikir longsor pasti terjadi di sisi Gunung Arca, di pinggiran
kampung. Dan di sana ya Tuhan, disana rumah gadisku berada. Bagaimana kalau
terjadi sesuatu yang amat buruk, ah pastilah buruk berita ini saja cukup
membuat sendi-sendi melemas.
Bergegas
pulang dengan menumpang truk yang menuju ke arah kampung. Aku tidak sempat
memikirkan pesanan yang lupa dibawa. Perasaan amat waswas dengan apa yang
terjadi mengalahkan akal sehat ketika sampai di kampung, aku menerobos tempat
kejadian. Melihat segalanya telah rata dengan tanah. Keluargaku selamat, tapi
tidak dengan keluarga gadisku.
Aku
seperti orang gila saat itu, mencakar-cakar tanah di atas rumah yang tertimbun.
Barangkali gadisku disana. Barangkali ia masih bisa diselamatkan. Tetapi pemuda
kampung yang lain segera menarikku dari lokasi. Berbahaya berada di sana
sementara hujan masih turun meski tidak sederas malam-malam biasanya. Maut
mengintai siapapun di tempat itu.
Kabar
baik itu tidak pernah datang hingga berhari-hari kemudian. Tim Sar dan Badan
Penanggulangan Bencana yang selama beberapa hari terakhir terus berupaya
mencari korban yang tertimbun tidak bisa menyampaikan kabar baik untukku.
Pencarian itu dihentikan. Khawatir penyakit yang ditimbulkan jenazah yang sudah
membusuk akan membuat sakit tetanus.
Tetapi
ya Tuhan, kabar itu datang. Telak menghantam ulu hati. Mencerabut sisi tegarku.
Gadisku ditemukan. Tewas dengan keadaan yang amat menyedihkan. Tangan kirinya
putus dan luka menganga lebar di kepala.
Sungguh
sejak saat itu, tidak ada yang pernah sama lagi. Gadisku pergi bersama alam
yang merenggutnya. Meninggalkan senyap disini, di kampung dan perasaanku.
DS/2013
0 komentar: