Antara Cerita dan Dongeng, Realis dan Magis. Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana

21.58 Unknown 0 Comments


“Bercerita adalah seni paling kuno.” kata pendongeng Inggris, Jo Blake Cave yang sudah sangat sering bercerita di banyak kota di India. Bagaimana kegiatan bercerita dapat menjadi ruang imajinasi seseorang lewat tulisan dan membangun daya khayal dengan adanya si tokoh, alur cerita, dan deskripsi tertentu yang diceritakan si pencerita.

Berhadapan dengan AS Laksana, cerpenis yang mengantarkan pembaca lewat gaya khas mendongengnya di buku Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu, seperti dibawa ke masa kecil yang penuh dengan imajinasi.

Buku Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu adalah buku kedua setelah Bidadari yang Mengembara berhasil menyabet buku sastra terbaik versi Majalah Tempo tahun 2004. Dengan gaya mendongengnya yang khas, penulis menceritakan sebuah kisah pendek yang tak lazim. Karakterisasi tiap tokoh dibangun sederhana, tetapi justru menghasilkan watak yang kuat. Topik kisahnya pun tak lazim seperti cerpen kebanyakan. Gaya cerita AS Laksana dapat dibilang sebagai absurdisme fiksi dalam khazanah sastra Indonesia. Ending cerita pada Murjangkung dibiarkan berakhir dengan hal-hal yang aneh dan absurd, seperti dalam kutipan di bawah ini:

Benih di rahimnya terus tumbuh dan perempuan itu mati lagi Sembilan bulan kemudian saat melahirkan anak kedua yang juga cucunya—seekor lembu peteng yang menyala di atas kuburan. (“Peristiwa Kedua, Seperti Komidi Putar”, hlm. 211).

Narasi dalam cerpen penutup yang bercerita tentang awal mula kelahiran Seto, tokoh dalam beberapa cerpen di buku Murjangkung, yang ternyata dilahirkan dari hasil hubungan ibu dan anak di cerita ini. Dan poin absurdnya: pembaca dibuat terheran-heran bagaimana mungkin perempuan yang sudah mati sebelumnya, dapat melahirkan kembali dan bayinya menjadi seorang tokoh yang nyatanya banyak bertebaran di dalam cerita-cerita lainnya.

A.S Laksana memang bukan merupakan nama baru di dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ia lebih mafhum dikenal sebagai cerpenis, untuk fiksi, dan juga mengisi kolom esai di Koran Jawa Pos. Pria yang dikenal dengan panggilan “Sulak” ini masyhur dengan cerpen-cerpennya yang berbau mistis, dan juga intertekstualitas yang sangat tinggi. Jika dibandingkan, mungkin ia seperti halnya Gabriel Garcia Marquez dengan sastra realis-magisnya


Buku Murjangkung

Dalam Murjangkung, AS Laksana banyak menggunakan unsur-unsur kisah nabi dari agama ibrahimik, mitos setempat, dan dongeng-dongeng yang ditabrakkan dengan kondisi masa kini. Uniknya, ia menyampaikan itu lewat caranya yang sederhana dan dibalut parodi. Tokoh-tokoh yang hadir dalam ceritanya pun dibiarkan mengembara, berkelindan begitu saja, tanpa kekangan oleh representasi dari judul cerita. Atau mungkin mereka bersembunyi di balik topeng-topeng, dan siap muncul untuk mengejutkan dan membuat kepala buyutan. Selain itu, tokoh-tokoh dalam cerita tersebut juga diberi nama-nama yang antonomasia; seperti si cacing, si belatung, kadal, dan sebagainya.

Seperti dalam kutipan berikut:

“Coba tanyakan kepada kawan-kawanmu, barangkali ada yang mau menikah dengan si cacing,” kata Bob kepada pamanku. (Otobiografi Gloria. Hlm 16)

Dalam kumpulan Murjangkung, cerpen berjudul “Otobiografi Gloria” menjadi dongeng yang paling mempunyai nyawa dan banyak memberikan kejutan. Otobiografi Gloria, seperti judulnya, bercerita tentang “si aku” yang sudah pasti bernama Gloria, namun ia tidak memberitahu apa kaitan ia dalam cerita otobiografinya tersebut.

Kemudian ia menceritakan riwayat keluarganya, dimana nenek dan kakeknya (si aku menyebutnya Bob dan Leli) sangat mendamba-dambakan cucu dari ketiga anak mereka. Dari ketiga anak itu, hanya anak kedualah, seorang perempuan yang menikah dengan pegawai bank, yang kemungkinan besar bisa mewujudkan harapan dua orangtua tersebut, sepasang suami istri yang dalam cerita, sangat gemar memanjatkan doa di tempat-tempat tak wajar demi mempunyai cucu. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah malapetaka, dan A.S Laksana berhasil membuat malapetaka itu memiliki nyawa.

Begitulah, terkadang memang cerita pendek dan dongeng sulit untuk dibedakan. Salah satu dosen pada mata kuliah Kajian Prosa Fiksi pernah mengatakan, kalau cerita (entah itu pendek atau panjang) itu merupakan representasi si pencerita dari apa yang dialaminya. Jadi ia bukan plok gambaran nyata yang dituturkan lewat pembicaraan. Sedangkan dongeng, banyak yang mengatakan kalau dongeng merupakan cerita lama, cerita yang mengangkat kearifan local dan amanat yang terkandung di dalamnya sangatlah dalam.

Mungkin beberapa cerita dalam Murjangkung layak disematkan dalam bentuk dongeng, dan mungkin juga sebagian cerita lainnya merupakan cerita pendek yang sangat jarang ditemui. Ia hadir sebagai dongeng bukan untuk menidurkan si pembaca, tetapi justru membuat pembaca menjadi kewalahan, karena mungkin beginilah seharusnya dongeng atau cerita itu hadir. Sedangkan sebagai cerita pendek, Murjangkung ingin mengatakan kalau cerita pendek tidak harus terkekang dengan representasi dari judul.

Satu hal yang pasti, mengutip kata Yusi Avianto Pareanom, bahwa hidup itu bukan hanya sekadar cerita pendek, begitu juga sebaliknya. Cerita pendek memang merupakan alternatif untuk melukiskan realitas, dimana keadaan zaman digambarkan dalam lanskap yang terbatas. Ketika zaman Or-Ba, Seno Gumira Ajidarma banyak sekali menciptakan  realitas dalam bentuk cerita pendek. Kini, dengan isu-isu yang keluar-masuk dan susah untuk dijadikan fokus, sepertinya para cerpenis kontemporer, termasuk mungkin A.S Laksana, ingin mengatakan bahwa cerita pendek itu tidak melulu soal menggambarkan realitas, namun juga mampu membuka kran imajinasi para pembaca dan juga menguak sejarah tak resmi yang dicatat para ahli.

Dewi Sarah, mahasiswa angkatan 2012 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Reza Deni Saputra, idem

0 komentar: