Antara Cerita dan Dongeng, Realis dan Magis. Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana
“Bercerita adalah seni paling kuno.”
kata pendongeng Inggris, Jo Blake Cave yang sudah sangat sering bercerita di
banyak kota di India. Bagaimana kegiatan bercerita dapat menjadi ruang
imajinasi seseorang lewat tulisan dan membangun daya khayal dengan adanya si
tokoh, alur cerita, dan deskripsi tertentu yang diceritakan si pencerita.
Berhadapan dengan AS Laksana, cerpenis
yang mengantarkan pembaca lewat gaya khas mendongengnya di buku Murjangkung:
Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu, seperti dibawa ke masa kecil yang penuh
dengan imajinasi.
Buku Murjangkung: Cinta yang Dungu dan
Hantu-Hantu adalah buku kedua setelah Bidadari yang Mengembara berhasil
menyabet buku sastra terbaik versi Majalah Tempo tahun 2004. Dengan gaya
mendongengnya yang khas, penulis menceritakan sebuah kisah pendek yang tak
lazim. Karakterisasi tiap tokoh dibangun sederhana, tetapi justru menghasilkan
watak yang kuat. Topik kisahnya pun tak lazim seperti cerpen kebanyakan. Gaya
cerita AS Laksana dapat dibilang sebagai absurdisme fiksi dalam khazanah sastra
Indonesia. Ending cerita pada
Murjangkung dibiarkan berakhir dengan hal-hal yang aneh dan absurd, seperti
dalam kutipan di bawah ini:
Benih
di rahimnya terus tumbuh dan perempuan itu mati lagi Sembilan bulan kemudian
saat melahirkan anak kedua yang juga cucunya—seekor lembu peteng yang menyala
di atas kuburan.
(“Peristiwa Kedua, Seperti Komidi Putar”, hlm. 211).
Narasi dalam cerpen penutup yang bercerita
tentang awal mula kelahiran Seto, tokoh dalam beberapa cerpen di buku
Murjangkung, yang ternyata dilahirkan dari hasil hubungan ibu dan anak di
cerita ini. Dan poin absurdnya: pembaca dibuat terheran-heran bagaimana mungkin
perempuan yang sudah mati sebelumnya, dapat melahirkan kembali dan bayinya
menjadi seorang tokoh yang nyatanya banyak bertebaran di dalam cerita-cerita
lainnya.
A.S Laksana memang bukan merupakan nama
baru di dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ia lebih mafhum dikenal sebagai
cerpenis, untuk fiksi, dan juga mengisi kolom esai di Koran Jawa Pos. Pria yang
dikenal dengan panggilan “Sulak” ini masyhur dengan cerpen-cerpennya yang
berbau mistis, dan juga intertekstualitas yang sangat tinggi. Jika
dibandingkan, mungkin ia seperti halnya Gabriel Garcia Marquez dengan sastra
realis-magisnya
Dalam Murjangkung, AS Laksana banyak
menggunakan unsur-unsur kisah nabi dari agama ibrahimik, mitos setempat, dan
dongeng-dongeng yang ditabrakkan dengan kondisi masa kini. Uniknya, ia
menyampaikan itu lewat caranya yang sederhana dan dibalut parodi. Tokoh-tokoh
yang hadir dalam ceritanya pun dibiarkan mengembara, berkelindan begitu saja,
tanpa kekangan oleh representasi dari judul cerita. Atau mungkin mereka
bersembunyi di balik topeng-topeng, dan siap muncul untuk mengejutkan dan
membuat kepala buyutan. Selain itu, tokoh-tokoh dalam cerita tersebut juga diberi
nama-nama yang antonomasia; seperti si cacing, si belatung, kadal, dan
sebagainya.
Seperti dalam kutipan berikut:
“Coba
tanyakan kepada kawan-kawanmu, barangkali ada yang mau menikah dengan si cacing,”
kata Bob kepada pamanku.
(Otobiografi Gloria. Hlm 16)
Dalam kumpulan Murjangkung, cerpen
berjudul “Otobiografi Gloria” menjadi dongeng yang paling mempunyai nyawa dan
banyak memberikan kejutan. Otobiografi Gloria, seperti judulnya, bercerita
tentang “si aku” yang sudah pasti bernama Gloria, namun ia tidak memberitahu
apa kaitan ia dalam cerita otobiografinya tersebut.
Kemudian ia menceritakan riwayat
keluarganya, dimana nenek dan kakeknya (si aku menyebutnya Bob dan Leli) sangat
mendamba-dambakan cucu dari ketiga anak mereka. Dari ketiga anak itu, hanya
anak kedualah, seorang perempuan yang menikah dengan pegawai bank, yang
kemungkinan besar bisa mewujudkan harapan dua orangtua tersebut, sepasang suami
istri yang dalam cerita, sangat gemar memanjatkan doa di tempat-tempat tak
wajar demi mempunyai cucu. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah malapetaka,
dan A.S Laksana berhasil membuat malapetaka itu memiliki nyawa.
Begitulah, terkadang memang cerita
pendek dan dongeng sulit untuk dibedakan. Salah satu dosen pada mata kuliah
Kajian Prosa Fiksi pernah mengatakan, kalau cerita (entah itu pendek atau
panjang) itu merupakan representasi si pencerita dari apa yang dialaminya. Jadi
ia bukan plok gambaran nyata yang
dituturkan lewat pembicaraan. Sedangkan dongeng, banyak yang mengatakan kalau
dongeng merupakan cerita lama, cerita yang mengangkat kearifan local dan amanat
yang terkandung di dalamnya sangatlah dalam.
Mungkin beberapa cerita dalam
Murjangkung layak disematkan dalam bentuk dongeng, dan mungkin juga sebagian
cerita lainnya merupakan cerita pendek yang sangat jarang ditemui. Ia hadir sebagai
dongeng bukan untuk menidurkan si pembaca, tetapi justru membuat pembaca menjadi
kewalahan, karena mungkin beginilah seharusnya dongeng atau cerita itu hadir. Sedangkan
sebagai cerita pendek, Murjangkung ingin mengatakan kalau cerita pendek tidak
harus terkekang dengan representasi dari judul.
Satu hal yang pasti, mengutip kata Yusi
Avianto Pareanom, bahwa hidup itu bukan hanya sekadar cerita pendek, begitu juga
sebaliknya. Cerita pendek memang merupakan alternatif untuk melukiskan
realitas, dimana keadaan zaman digambarkan dalam lanskap yang terbatas. Ketika
zaman Or-Ba, Seno Gumira Ajidarma banyak sekali menciptakan realitas dalam bentuk cerita pendek. Kini,
dengan isu-isu yang keluar-masuk dan susah untuk dijadikan fokus, sepertinya
para cerpenis kontemporer, termasuk mungkin A.S Laksana, ingin mengatakan bahwa
cerita pendek itu tidak melulu soal menggambarkan realitas, namun juga mampu
membuka kran imajinasi para pembaca dan juga menguak sejarah tak resmi yang
dicatat para ahli.
Dewi Sarah, mahasiswa
angkatan 2012 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Reza Deni Saputra, idem
0 komentar: